“TV Sampah” (By : Mo Monstrologist Captain Jack)
Membusuklah di depan layar kaca, dengan drama basi yang kau lihat setiap hari..
Dan berita yang tak jelas, tentang hidup orang lain yang sama skali bukan urusanmu..
Cobalah sedikit berfikir tentang semua kontradiksi,
Banyak pecandu TV lapar, dan semua di TV berfoya-foya..
Kita diajari untuk menilai fisik belaka, mencela moral orang lain tanpa lihat diri sendiri..
Isi TV kini cuma sampah..
Isi TV kini cuma sampah belaka..
Isi TV kini cuma sampah..
Entah mengapa kalian bisa hidup menikmatinya..
Saat semua orang tolol berada dalam spotlight..
Saat semua ketololan menjadi base ways of life..
Hingga semua kebodohan mendarah daging tanpa pernah kalian sadari..
Televisi (seharusnya) adalah media yang paling strategis dalam penyampaian informasi tertentu. Artinya media ini mempunyai layanan yang paling mudah didapat oleh golongan masyarakat kelas atas sampai bawah, golongan masyarakat perkotaan sampai pedesaan. Alasannya karena mungkin TV ini di samping harganya terjangkau dan pembayarannyapun tidak begitu menjadi beban, sehingga menjadi dasar utama masyarakat kita memilihnya. Namun, yang sering terjadi justru lebih ke kontradiksi. Stasiun-stasiun TV itu saling berlomba membuat tayangan (hanya) demi keuntungan stasiun, tak peduli tayangan itu bermutu atau tidak, mendidik atau membodohi, membangun karakter bangsa atau mengikis karakter bangsa, dan sebagainya.
Hari ini tiap hari kita disuguhi berita-berita berbau kerusuhan dan anarkisme, tak heran jika budaya kekerasan menjadi semacam bom waktu di negara ini. Iklan-iklan TV yang mengagungkan citra/tampilan luar saja semakin merebak, tak heran jika jiwa konsumtif masyarakat kian hari kian menjadi. Sinetron-sinetron murahan selalu tayang tiap harinya, tak heran jika masyarakat kita terlalu berpikir instan, penuh drama busuk, dan bertele-tele. Acara-acara musik di TV lebih mengedepankan sensasi daripada esensi, artis-artis yang membawakan lagu dengan lirik cinta sok ganteng “khas Indonesia” minim pesan sudah pasti over played, tak heran jika anak muda kita seperti kekurangan testosteron, cengeng dan berlebihan. Tayangan-tayangan di TV yang secara tidak langsung membangun mindset kalau “yang di luar” itu sudah barang tentu lebih baik daripada “yang di dalam”, tak heran jika masyarakat kita sendiri terutama anak-anak muda kurang mencintai warisan seni dan budaya Indonesia. Keluar untuk melihat dunia yang lebih luas itu baik, karena kita tak ingin seperti katak dalam tempurung. Tapi lebih baik lagi kalau kita keluar melihat dunia dengan tetap menjadi diri kita, Indonesia. Karena (sekali lagi) kalau bukan kita siapa lagi yang akan peduli melestarikan budaya kita sendiri ? Di saat transparansi menjadi sebuah alibi untuk menuai sensasi, apalah artinya jika tujuan akhirnya hanya untuk membodohi ?